bolsas femininas

Lencana Facebook


Sabtu, 28 April 2012

PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM


PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM

1.    PENDAHULUAN
Ijtihad yang berasal dari kata (asal mula katanya) ijtahada (اجتهد يجتهد اجتهادا)
artinya adalah: mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban. Menurut istilah adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai putusan syara' (hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW[1]. Sebagian Ulama' mendefinisikan bahwa ijtihad adalah:
استفراغ الجهد وبذل غاية الوسع أما فى استنبات الأحكام الشرعية وأما في تطبيقها[2]
Artinya: usaha sungguh-sunggung dan mengerahkan segala kekuatan, adakalanya untuk mencapai putusan hukum syara' dan adakalanya untuk menerapkannya. 
Ijtihad sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. landasan dibolehkannya ijtihad di antaranya firman Allah SWT:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿البقرة: 150﴾
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk[3].
Dari ayat ini dapat kita pahami sebagai dasar dibolehkannya ijtihad[4].

2.    RUMUSAN MASALAH
  Dari uraian diatas pemakalah akan menjelaskan tentang:
1.      Proses pembentukan hukum pada masa nabi Muhammad SAW dan sahabat
2.      Perkembangan fiqh dan ijtihad pada masa nabi Muhammad SAW dan sahabat
3.      Perkembangan Fiqh dan ijtihad Umar ibn Khattab
-       Metode ijtihad Umar ibn Khattab
-       Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan Umar ibn Khattab

3.    PEMBAHASAN
A.      Proses Pembentukan Hukum Pada Masa Nabi Muhammad SAW Dan Sahabat
1.        Bangsa Arab Pra Islam
       Bangsa Arab sebelum diutus seorang Nabi SAW adalah umat yang tidak mempunyai aturan, kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yang dapat mereka patuhi. akibat dari itu semua jiwa mereka dipenuhi dengan aqidah yang batil. Tuhan dihayalkan pada patung yang mereka Pahat. Dengan tangannya sendiri, terkadang pada binatang-binatang yang tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekah adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, atau hubal. Mekkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Catan), dan Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh golongan Adnaniyun, dan wilayah selatan diduduki oleh golongan qahthan. Akan tetapi lama-kelamaan kedua golongan tersebut membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Masyarakat, baik nomadik ataupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka sangat suka berperang, sehingga peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini nampaknya sudah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah. Situasi ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Diluar itu, syekh atau amir tidak memiliki wewenang apa-apa[5].
Pada saat itu penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting diantaranya adalah Yastrib[6]. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi. Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, akan tetapi bangsa Arab masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang kebangkitan islam.
2.        Tahapan Tasyri' Pada Masa Kerasulan
Fase ini bermula ketika Allah mengutus nabi Muhamad SAW membawa wahyu berupa al-Qur'an ketika baginda sedang berada di dalam gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijriyah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah SAW di Mekah selama 13 tahun dan berlangsung ketika beliau berada di Madinah dan ditempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai beliau wafat pada tahun 11 H.
Terkadang wahyu turun kepada baginda Rasulullah SAW dalam bentuk al-Qur'an yang merupakan kalam Allah SWT dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Rasulullah SAW atau yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.
Atas dasar ini perundang-undangan pada masa Rasulullah SAW mengalami dua periode istimewa, yaitu periode legislasi hukum syari'at di Mekah yang dinamakan perundang-undangan era Mekah (Attasyri' al-Makkiy) dan periode legislasi hukum syari'at di Madinah (Attasyri' al-Madaniy)[7].
  1. Tasyri’ Pada Periode Mekah
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada proses penamaan tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan[8].
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki aqidah, karena aqidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya. Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-Qur'an yang turun di Mekah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi[9]. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur'an itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
Pada masa ini al-Qur'an hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, seperti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekah merupakan periode revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Status revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekah, terutama dalam aspek ekonomi[10], faktor diantaranya yaitu:
  1. Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekah.
  2. Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting. Mekah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekah adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.
  1. Tasyri’ Pada Periode Madinah
Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang. Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula perhubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun perang[11].
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan. Oleh karena itu di periode Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih[12].
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada periode ini. Pertama adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam Turun secara global nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti ketika nabi salat para sahabat melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan Siap dan menerima Islam harus menjadi prioritas yang diutamakan.
3.        Sumber Perundang-Undangan Tasyri’ Pada Periode Rasulullah SAW
Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai dua sumber[13], yaitu :
  1. Wahyu Ilahi (Al-Quran)
Al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat manusia. Dalam bahasa “Fazlurrahman, al-Qur'an adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh dan religius dengan keadaan yang peka dan nyata akan adanya satu tuhan yng memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan[14].
Ketika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum dikarenakan suatu peristiwa, perselisihan, pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW satu atau beberapa ayat al-quran yang menjelaskan hukum yang hendak diketahuinya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam apa-apa yang sudah diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib diikuti.
Ada karakteristik yang sangat menonjol dari al-quran yaitu, bahwa meskipun al-quran diturunkan dalam ruang waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi kalam tuhan tersebut adalah universal, sehingga mengatasi ruang dan waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sasaran alquran dan juga sebab turunnya adalah “kemanusiaan(problematika kehidupan manusia), baik pada masa Nabi, masa kini dan masa seterusnya.
  1. Ijtihad Rasulullah (Sunnah)
Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah al-Qur'an. Dalam terminologi muhaddisin, fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-Quran, sunnah juga tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik) mengikuti fenomena umum dalam masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti perkembangan turunnya syariat. Oleh karena itu dalam banyak hal, kita akan melihat bahwa sunnah bertujuan menerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan al-Qur'an.
Ketika muncul sesuatu yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasulullah ayat al-Qur'an yang menunjukkan hukum yang dikehendakinya, maka Rasulullah berijtihad untuk mengetahui ketentuan hukumnya.
Dan dengan hasil ijtihad itulah yang dipergunakan beliau untuk memutusi hukum sesuatu masalah, atau memberi fatwa hukum atau menjawab pertanyaan atau menjawab permintaan fatwa hukum. Dan hukum yang terbit dari hasil ijtihad beliau itu juga menjadi undang-undang yang wajib diikuti. Setiap hukum yang disyareatkan pada periode Rasulullah SAW itu sumbernya adalah dari wahyu ilahi (al-Qur'an) dan ijtihad Nabi (Sunnah)[15].
4.        Tahapan Tasyri' Pada Masa Al-Khulafaur Rasyidun
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi Khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing. Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad[16].
B.       Perkembangan Fiqh Dan Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW Dan Sahabat
1.        Perkembangan Fiqh Dan Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama Islam merupakan himpunan dari aqidah, akhlak dan amaliyah. Hukum amaliyah ini pada masa Rasulullah SAW terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat didalam al-Qur'an, dari berbagai hukum yang keluar dari Rasulullah SAW sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus, atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu pertanyaan. Kompolasi hukum-hukum fiqh pada periode pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulnya dan sumbernya adalah al-Qur'an dan sunah[17].
Permasaalahan ijtihad pada masa Rasulullah ini terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi ijtihad yang menyangkut dengan kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi perang jelas dilakukan oleh Nabi. Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara para sahabat yang mengutarakan pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz[18].
Saat itu Rasulullah SAW lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk mengambil fidyah dari para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun firman Allah SWT yang mendukung pendapat Umar untuk membunuh mereka "Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal [8]: 67)[19]
Dalam Fiqh us-Sirot in-Nabawiah-nya, Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah SAW. Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun tidak kontinyu, karena akan datang wahyu Allah swt yang membenarkannya. Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah keburukan, namun hanya sebuah kekurangsempurnaan dalam versi ilmu Allah SWT[20].
2.        Perkembangan Fiqh Dan Ijtihad Pada Masa Sahabat
Pada masa sahabat, mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya berbagai hal yang tidak pernah dihadapi kaum muslimin sebelumnya dan belum pernah muncul pada zaman rasulullah, maka berijtihadlah orang yang ahli ijtihad diantara meraka, mereka memberikan putusan hukum , berfatwa menetapkan hukum syari'at, dan menambahkan sejumlah hukum yang mereka istimbathkan melalui ijtihad mereka kepada kompilasi hukum yang pertama itu. Maka pada periode kedua ini, kompilasi hukum fiqh terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulnya, serta fatwa sahabat dan putusan mereka. Sedangkan sumbernya adalah al-Qur'an, assunah dan ijtihad para sahabat[21].
Pada kedua periode ini hukum-hukum tersebut belum terkodifikasikan dan belum ada penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif, akan tetapi penetapan hukum islam adalah berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan kasus-kasus yang terjadi saja. Hukum-hukum ini belum menjelma dalam bentuk ilmiyah, akan tetapi hanya sekedar suatu penyelesaian insidental terhadap peristiwa-peristiwa faktual. Kompilasi hukum ini belum pula dinamakan sebagai ilmu fiqh, dan tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat belum disebut fuqoha'[22].
C.      Perkembangan Fiqh Dan Ijtihad Umar Ibn Khattab
1.    Metode ijtihad Umar ibn Khattab
Umar bin Khattab dikatakan berijtihad mulai wafatnya Rasulullah SAW sampai beliau menjabat sebagai sebagai khalifah kedua dan wafat. Adapun prakondisi pada masa Rasulullah saw hanya merupakan istisyar (konsultasi) dan meminta kejelasan. Karena salah satu sumber hukum pada waktu itu masih ada (Rasulullah=Hadits)
Kaidah umum Umar bin Khattab RA dalam berijtihad[23]:
1.      Berpegang pada nash/teks al-Qur’an dan Sunnah
2.      Ijma’ dan Qiyâs. Namun bukanlah yang dimaksud disini Ijma’ sebagaimana yang ada dalam istilah-istilah sebagian pendapat ushul fiqh. Namun dengan kesepakatan orang-orang yang mengerti permasalahan yang dihadapi saat itu dan diikuti oleh orang lain dengan menyetujuinya. Demikian halnya dengan qiyas. Istilah-istilah ushul fikih belumlah ada pada masa Umar, seperti istilah sadz dzarâi’ dan mashlahah. Namun ini diilhami dengan perbandingan suatu masalah dengan yang lainnya yang serupa. Disinilah kecerdasan beliau mengklasifikasikan suatu masalah sehingga bisa diqiyaskan. Seperti ijtihad beliau tentang zakat ‘urûdh tijârah yang diqiyaskan pada zakat emas dan perak. Harga diyat (bukan dengan unta) diqiyaskan dengan penerimaan Rasulullah atas jizyah dengan harga/qîmah (bukan dengan naqd).
3.      Bermusyawarah dengan para sahabat. Kadang dengan meminta pendapat mereka ataupun mereka (para sahabat Rasulullah membenarkan ijtihad Umar dengan Ijma’ Sukuti)
4.      Berpikir Realistis. Pola ijtihad dan berpikir beliau bukan pada hal-hal iftirodhy (yang diperkirakan ada). Karena sangat jarang kita menemukan beliau memberikan penyelesaian hukum pada permasalahan yang memang belum ada. Sebagaimana yang terjadi pada sampel-sampel fikih pada masa Abbasiah. Umar meyelesaikan kasus perkasus yang benar-benar terjadi dan dihadapi pada masanya dan pada masyarakatnya secara realistis dan cerdas.
5.      Kemungkinan benar dan salah. Ketika berijtihad di saat menjabat sebagai khalifah, beliau sangat menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya. Beliau tak memaksakan pendapat ini kepada kaum muslimin.
6.      Maslahah dan Nash. Dua kutub ini yang sangat diperhatikan oleh Umar dalam pengambilan hukum fikih. Karena jika pengambilan hukum hanya didasarkan maslahah semata maka akan cenderung membentur nash. Ketika itu pengambilan hukum benar-benar akan kontroversi dan menabrak nash. Seperti pada contoh had pencuri atau masalah mu’allaf.
7.      Memperhatikan kemaslahatan bersama dan kemaslahatan pribadi atau golongan. Jika bertentangan maka kemaslahatan umumlah yang diprioritaskan.
8.      Mentarjih salah satu kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal jika memang bisa berpihak pada kemaslahatan.
9.      Maslahah dan Sadz dzarâi’. Umar memang belum mengenal istilah usul fikih ini. Bahwa perlu ada proteksi hukum dan akidah dengan sadz dzarai’ yang dikedepankan dari pada maslahah. Seperti contoh penebangan pohon bai’aturridwân. Hal tersebut beliau lakukan setelah melihat kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi pohon tersebut dan shalat dibawahnya. Beliau sangat mengkhawatirkan hal ini bisa mengembalikan kondisi jahiliyah (menyembah berhala) secara pelahan dan berproses.
10.  Ta’zir. Yaitu hukuman tertentu yang diterapkan beliau pada masalah-masalah yang tidak ditentukan Rasul saw. Dan kondisi ini pun berbeda-beda satu dengan lainnya.
11.  Qarînah yang jelas. Seperti had zina kepada perempuan yang hamil sedangkan ia belum punya suami. Adapun jika qarinah ini ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa ditafsirkan maka beliau pun akan memutuskan lain.
12.  Lafadz dan Niyat. Artinya ketika seseorang mengucapkan sesuatu yang dimaksudkan untuk menyindir atau menuduh zina, misalnya. Beliau akan segera bertanya dan minta endapat orang-orang disekitarnya. Jika benar maksudnya adalah menuduh zina maka ia akan segera dihukum. Karena jika orang tersebut ditanya maka ia akan berkelit dan berdalih.
13.  Konsep Keadilan
14.  Menghargai hak milik pribadi
15.  Memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan dan hak-haknya. Seperti kemuliaan dan posisi sosial seseorang. Akan tetapi jika ia menghukum orang terpandang yang bersalah bukanlah dimaksudkan untuk menjatuhkannya namun untuk menjaga hak-hak orang lain dan justru mengembalikan orang terpandang tersebut untuk tetap bagus personal recordnya di tengah masyarakatnya.
16.  Persamaan hak dan akidah
2.    Beberapa Contoh Ijtihad Umar Al-Fârûq
Sebelum kita memasuki pembahasan-pembahasan khusus yang menjelaskan ijtihad Umar secara khusus. Ada baiknya kita mengetahui bagaimana Umar sangat memperhatikan nash-nash[24].
1.      Dalam masalah tayamum orang junub. Mulanya beliau membolehkannya. Setelah mengingat-ingat kembali pada masa Rasulullah saw, beliau menarik lagi pendapatnya.
2.      Beliau menolak riwayat Fatimah binti Qais yang meriwayatkan bahwa perempuan yang ditalak bâ’in tidakkah mendapatkan nafkah dan tempat tinggal pada masa Rasulullah saw. Beliau menolaknya dengan tetap berpegang teguh pada nash yang bersifat umum (baik raj’ah maupun bâ’in) “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik…”.(QS. 65:6). Adapun kajian tentang talak ini memang terdapat perbedaan (ikhtilaf) para ulama. Pada kesempatan ini, kita tak mengedepankan masalah penolakan Umar terhadap riwayat Fatimah binti Qais. Akan tetapi, karena beliau kurang merasa tenang hatinya ketika ada yang terlihat bertentangan dengan al-Qur’an. Namun demikian beliau tak berani menganggap bahwa Fatimah binti Qais berbohong.
3.      Umar juga pernah lupa dengan beberapa riwayat hadits. Sehingga dalam prakteknya beliau sering muraja’ah dengan beberapa sahabat tentang riwayat yang beliau ragu atau kurang tenang.
4.      Tadwin dan penulisan hadits nabawi. Pada awalnya belau berpegang teguh; tak boleh membukukan (=menulis) hadits-hadits Rasul saw. Namun setelah beliau gundah dan khawatir jika nantinya orang-orang terlalu mencintai Rasul kemudian dengan itu mengada-ada dan menulis apa yang tak ada pada Rasul saw. Beliau pun beristikhârah selama sebulan dan terus bermusyawarah dengan para sahabat akhirnya beliau membolehkan tadwin sunnah.

a.    Ijtihad Pada Nash-Nash Khusus

Maksudnya, bukan berarti Umar berijtihad pada wilayah yang sudah ada nashnya. Namun, perlakuan beliau terhadap beberapa nash al-Qur’an yang sekilas terlihat dan terkesan bertentangan dan kontroversi. Tetapi hakikatnya tidaklah demikian.
Secara singkat bisa dibagi dalam beberapa bagian, sebagai berikut:
a.    Materi/harta. Ada beberapa contoh, diantaranya tanah yang dibuka melalui futuhat islamiyah, hak mu’allaf dalam zakat, bagian ghanimah untuk dzawil qurbâ (kerabat Rasulullah SAW., pembayaran harga diyat, zakat ‘urûdh tijâraakat, zakat madu dan lain-lain.
b.    bagian ghanimah untuk dzawil qurbâ (kerabat Rasulullah Saw. pembayaran harga diyaakat ‘urûdh tijâraakat madu dan lain-lain.
c.    Hudud/Hukuman. Ada beberapa contoh, diantaranya: had pencuri, zina, minuman keras/khamr dan lain-lain.
d.   Pernikahan dan Akhwal Syakhshiyyah. Ada beberapa contoh, diantaranya: tentang nikah mut’ah, menikahi kitabiyat (ahli kitab perempuan), talak 3 dengan lafadz satu saja.
e.    Harta waris. Kalalh bagian jad (kakek) dan ikhwah (saudara) bagian orang tua dengan adanya salah satu suami-istri bagian saudara perempuan ketika ada anak perempuan dan lain-lain.
f.     Lain-lain. Ada beberapa contoh, diantaranya: Haji, tarawih berjamaah dan lain-lain
Kita mencoba mengambil sampel beberapa contoh saja. Yaitu tentang mu’allafati qulubuhum, had pencuri dan tentang menikahi kitabiyat.
a)      Mu’allafati Qulubuhum
Salah satu ijtihad Umar bin Khattab yang sering dinilai kontroversial dan bertentangan dengan al-Qur’an adalah beliau tidak membagi zakat kepada mu’allaf. Sehingga dari sinilah seolah terbuka celah untuk mengkritisi teks-teks al-Qur’an.
Kita mesti membedakan ijtihad beliau. Apakah obyeknya benar nash atau teks al-Qur’an atau konteks sosial yang ada pada waktu itu. Yang pertama adalah kontroversi dan yang kedua adalah kejeniusan. Yang pertama menerjang kesakralan nash. Yang kedua membuktikan keluasan ilmu.
Setelah terjadi beberapa futuhat islamiyah pada zaman beliau maka kondisi umat Islam cukup kuat dan eksis bahkan menjadi sebuah kekuatan yang benar-benar diperhitungkan. Pada saat itulah beliau memandang bahwa tak ada lagi orang yang perlu disebut sebagai muallaf, yang berkonsekuensi tak ada jatah untuk mereka dalam pembagian harta zakat.
Nash al-Qur’an menjelaskan bahwa pembagian harta zakat diperuntukkan kepada 8 saluran sebagaimana yang telah ditetapkan, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah…” (QS. 9:60).
Apakah jika suatu saat kita tidak menjumpai salah satu saluran tersebut berarti kita menghapus al-Qur’an. Seperti halnya tentang perbudakan yang bisa dikatakan sudah tak ada. Delapan saluran diatas hanyalah pilihan yang diberikan oleh Allah untuk menyalurkan zakat, bukan selain mereka. Bisa jadi suatu ketika hanya ada salah satu saja dari yang delapan atau bahkan tak ada lagi sama sekali.
Terbukti pada saat pemerintahan cucu beliau, Umar bin Abdul Aziz. Saluran muallaf kembali dibuka. Dengan menghadiahkan dinar kepada seorang patrik.
Hal ini mirip poin keputusan yang sering kita bahas dalam tata tertib persidangan. Seperti pengambilan keputusan secara mufakat. Kemudian dengan pemungutan suara. Lalu dengan diserahkan kepada presidium sidang. Adanya beberapa poin bukan berarti mesti kita jalankan semua secara kaku. Jika kita melaksanakan poin nomor satu bukan berarti kita menghapus poin berikutnya.
Satu hal penting yang perlu dicatat bahwa apa yang dilakukan Umar tersebut disetujui dan didukung oleh para sahabat Nabi. Selain itu bahwa bukan berarti hukum agama diserahkan secara bulat-bulat kepada para penguasa sehingga bisa dibolak-balik sesuka mereka. Karena sudah ada aturan-aturan bakunya. Hanya saja memang masih banyak ruang-ruang ijtihad bagi orang-orang cerdas. Sehingga tak perlu lagi menyentuh wilayah sempit yang sudah ditentukan.
Naifnya, ijtihad Umar dalam masalah ini sering dibawa-bawa ketika seseorang hendak membicarakan masalah harta warisan. “…bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…” (QS. 4:176). Yaitu dengan menuntut persamaan bagian dengan klausul emansipasi dan tuntutan modernitas. Bahwa sudah saatnya bagian perempuan sama dengan bagian laki-laki dalam masalah warisan di ayat ini.
Tentu saja masalah ini berbeda dengan konteks ijtihad Umar yang jenius tanpa harus menabrak nash. Adapun masalah terakhir ini terlihat jelas sebagai upaya menunjukkan keangkuhan dan kesombongan atas nash-nash yang diklaim sudah usang dan ketinggalan zaman.
Sebenarnya yang perlu kita pertanyakan, masihkah hukum warisan ini dipegang dan dijalankan oleh kaum muslimin. Bahwa tujuannya bukan sekedar pembagian angka namun memperkuat hubungan keluarga.
b)      hukum seorang pencuri
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah…”(QS. 5:38).
Umar bin Khattab tidak memberlakukan hukuman potong tangan terhadap pencuri di musim paceklik pada masa kepemimpinannya.
Inti dari beberapa peristiwa pencurian yang terjadi pada masa paceklik tersebut adalah keterpaksaan mempertahankan hidup. Bahwa menjaga jiwa (hidup) lebih dikedepankan dan diprioritaskan daripada menjaga harta. Dan ijtihad Umar ini bukan berarti melanggar nash al-Qur’an. Karena seorang pencuri yang harus dipotong tangannya adalah telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantaranya harta yang dicuri sampai pada batas tertentu, dalam kondisi normal, mengganggu hak orang lain dan stabilitas sosial serta adanya saksi atau pengaduan atau keberatan dari pihak yang dirugikan.
Dan bukan berarti pula bahwa ijtihad Umar tanpa sandaran nash. Allah sendiri memerintah untuk tidak menjerumuskan diri kita pada kebinasaan, diperbolehkannya memakan bangkai bila sangat terpaksa, juga riwayat shahih dari Makhul yang menjelaskan sabda Rasul SAW. “Tak ada potong (tangan) di musim paceklik yang sangat”.
c)      Menikahi Ahli Kitab Perempuan (Kitabiyat)
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik…” (QS. 5:5)
Secara jelas Allah membolehkan laki-laki menikahi perempuan ahli kitab (yang menjaga kehormatan). Namun, Umar melarangnya dengan memperhatikan kemaslahan sosial umat Islam.
Bila kita teliti dengan seksama sesungguhnya beliau berpendapat bahwa menikahi kitabyat adalah halal. Hanya saja dalam kondisi khusus beliau menyatakan, “sesungguhnya perempuan-perempuan asing itu memperdayakan dan melenakan”. Hal itu tak lain beliau ungkapkan untuk menjaga stabilitas kaum muslimin dan eksistensi psikologis dan keseimbangan sosial mereka. Atau dalam bahasa ushul fiqh kita kenal dengan tindakan prefentif berupa sadz dzara’i. Mencegah keterlenaan yang membuai kaum muslimin.
Apalagi terhadap masalah serius seperti pernikahan. Memang benar diantara perempuan itu ada kitabiyat. Lalu, apakah sudah tak ada seorang muslimah pun yang membuat kita tertarik untuk menikahinya. Dan diantara muslimah tersebut ada berbagai sifat dan karakter yang membuat seorang laki-laki harus memilih “selera” tertentu sesuai dengan kufu’ dan kecondongan hatinya.
Terlepas dari hal itu, apakah dengan kondisi seperti saat ini kita masih bisa mencari. Masih adakah orang-orang yang disebut dengan Ahli Kitab? Sebuah permasalahan yang masih saja mengundang perdebatan dalam wacana fiqh kontemporer. Jika jawabannya ya, sifat “yang menjaga kehormatan” itu sendiri memiliki penafsiran yang lebih serius.
Kebolehan nikah ini sendiri bukan berarti menduduki peringkat kebolehan yang besar. Namun lebih pada skala prioritas. Apalagi untuk urusan serius dalam hidup seorang mukmin yang telah lama membina dirinya untuk mencari pasangan hidup yang diharapkan mampu melanjutkan obsesi hidup bersama dan mewujudkan masyarakat madani yang beriman pada Allah. Urusan serius itu adalah pernikahan.

b.    Ijtihad-Ijtihad Pada Masalah Yang Tak Ada Nash

Selain hal-hal yang disebut diatas, Umar juga melakukan ijtihad-ijtihad cerdas diberbagai masalah yang tak ada hubungannya dengan nash-nash khusus seperti ide mengumpulkan al-Qur’an (jam’ul Qur’an), penanggalan hijriyah, perpajakan, diwan mal, baitul mal, administrasi negara dan beberapa undang-undang kenegaraan serta lain-lain[25].
4.    ANALISIS
Analisis pemakalah dari pembahasan diatas yaitu sebagai berikut:
1.        Tasyri’ adalah manifestasi dari lahirnya Islam sebagai agama yang benar dan diridhai oleh Allah SWT.
2.         Bangsa Arab para Islam adalah bangsa yang sangat tidak bermoral, sehingga Rasulullah saat itu berdakwah tentang-tentang akidah (periode mekkah)
3.        Periode Mekkah adalah periode dimana nabi hanya menjelaskan tentang tauhid dan akidah. Sehingga periode ini dikenal dengan periode penataan akidah.
4.        Periode Madinah adalah periode dimana kesempurnaan tasyri’ mulai terlihat, ayat-ayat yang Turín tidak lagi berkaitan dengan tauhid ataupun akidah akan tetapi sudah beralih kepada hal-hal yang mengandung tentang Ibadan.
5.        Yang menjadi sumber tasyri’ pada periode Rasulullah SAW adalah wahyu ilahi(al-quran) dan ijtihad Nabi (sunnah).
6.        Keberadaan ijtihad pada masa Rasulullah masih diperselisihkan, akan tetapi beberapa ijtihad tentang kemaslahatan dunia dan strategi perang terlihat wujudnya pada periode ini.
7.        Ketika berijtihad para sahabat sangat memperhatikan beberapa sumber, tidak hanya bersumber pada al-Qur'an dan Hadits.

5.    PENUTUP
Semoga penulisan makalah ini bisa memberikan banyak manfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya dalam menggali ilmu pengetahuan agama Islam. Dalm penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mhon saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Semoga goresan pena yang tidak seberapa ini dapat menjadi amal jariyah bagi kami.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Imam Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr, tanpa tahun)
Arif, Ahmad Daniel, Makalah Fenomena Tasyri’ di  Era Rasululullah Serta Berbagai Faktor Sosial Yang Melatarbelakanginya, (Malang, 2009)
Asyaukani, Irsyad al-Fuhul, (Mesir, 1937)
Bahri, Saiful MA., Artikel Menilik Ijtihad al-Fârûq Dalam Fiqh
Depag RI, Ushul Fiqh 1
Hasan, Rasyad Khalil, Dr., Tarikh Tasyri' Tarjamahan Dr. Nadirsyah Hawari, M.A (Jakarta: Amzah, 1998)
Wahab, Abdul Kholaf, Prof., Ilm Usul al-Fiqh, (Kairo, 1982)
Wahab , Abdul Kholaf, Prof. , Khulasoh Tarikh Tasyri' Islam tarjamahan H. A Aziz Masyhuri, (Solo: Ramadhani, 1990) cetakan IV
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=495
http://justyadi.blogspot.com/2010/05/ijtihad-mujtahid.html
http://hilabiyus.multiply.com/journal/item/18





                       






[1] http://justyadi.blogspot.com/2010/05/ijtihad-mujtahid.html, diunduh pada hari minggu, 10 oktober 2010
[2] . Al-Imam Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr, tanpa tahun) hlm: 301
[3] Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (S. 2: 150) sehubungan dengan peristiwa berikut: Ketika Nabi SAW memindahkan arah qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, kaum Musyrikin Mekkah berkata: "Muhammad dibingungkan oleh agamanya. Ia memindahkan arah qiblatnya ke arah qiblat kita. Ia mengetahui bahwa jalan kita lebih benar daripada jalannya. Dan ia sudah hampir masuk agama kita."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari as-Suddi melalui sanad-sanadnya.)
[4]  http://repository.usu.ac.id//bitsream/123456789/1653/arab-nasroh.pdf
[5] Ahmad Arif Daniel, Makalah Fenomena Tasyri’ di  Era Rasululullah Serta Berbagai Faktor Sosial Yang Melatarbelakanginya, (Malang, 2009) hlm: 4
[6] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri' Tarjamahan Dr. Nadirsyah Hawari, M.A (Jakarta: Amzah, 1998), hlm: 36

[7] Ibid, hlm: 41-42
[8] Ibid, hlm: 42
[9] Prof. Abdul Wahab Kholaf, Khulasoh Tarikh Tasyri' Islam tarjamahan H. A Aziz Masyhuri, (Solo: Ramadhani, 1990) hlm: 9, cetakan IV

[10] Ahmad Arif Daniel, opcit, hlm:5
[11] Ibid, hlm: 6
[12] Prof. Abdul Wahab Kholaf,  opcit, hlm: 10
[13] Ibid, hlm: 13
[14] Ahmad Arif Daniel, opcit, hlm:7

[15] Ibid, hlm: 8
[16] http://hilabiyus.multiply.com/journal/item/18, diunduh pada hari minggu, 10 Oktober 2010
[17] Prof. Abdul Wahab Kholaf, Ilm Usul al-Fiqh, (Kairo, 1982), hlm: 15
[18] Ahmad Arif Daniel, opcit, hlm:10

[19] ibid
[20] ibid
[21] Prof. Abdul Wahab Kholaf, Ilm Usul al-Fiqh, opcit, hlm: 15
[22] ibid 
[23] Saiful Bahri, MA, Artikel Menilik Ijtihad al-Fârûq Dalam Fiqh

[24] ibid
[25] ibid

By emil salim with 1 comment

1 komentar:

Posting Komentar