PERKEMBANGAN
IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM
1.
PENDAHULUAN
Ijtihad
yang berasal dari kata (asal mula katanya) ijtahada (اجتهد يجتهد اجتهادا)
artinya adalah:
mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban. Menurut istilah adalah usaha
sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai putusan syara'
(hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an
dan sunah Rasulullah SAW[1].
Sebagian Ulama' mendefinisikan bahwa ijtihad adalah:
استفراغ الجهد وبذل غاية الوسع أما فى استنبات الأحكام
الشرعية وأما في تطبيقها[2]
Artinya: usaha sungguh-sunggung dan
mengerahkan segala kekuatan, adakalanya untuk mencapai putusan hukum syara' dan
adakalanya untuk menerapkannya.
Ijtihad
sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam. Kemudian berkembang pada masa-masa
sahabat, tabiin, dan generasi selanjutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang
surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing generasi. Ijtihad
bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam.
landasan dibolehkannya ijtihad di antaranya firman Allah SWT:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ
ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي
عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿البقرة: 150﴾
Artinya:
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah
wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali
orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan
supaya kamu mendapat petunjuk[3].
Dari
ayat ini dapat kita pahami sebagai dasar dibolehkannya ijtihad[4].
2.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas pemakalah akan menjelaskan
tentang:
1.
Proses
pembentukan hukum pada masa nabi Muhammad SAW dan sahabat
2.
Perkembangan
fiqh dan ijtihad pada masa nabi Muhammad SAW dan sahabat
3.
Perkembangan
Fiqh dan ijtihad Umar ibn Khattab
-
Metode ijtihad
Umar ibn Khattab
-
Contoh-contoh
ijtihad yang dilakukan Umar ibn Khattab
3.
PEMBAHASAN
A. Proses Pembentukan Hukum Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Dan Sahabat
1.
Bangsa
Arab Pra Islam
Bangsa Arab sebelum diutus seorang Nabi SAW adalah umat yang
tidak mempunyai aturan, kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya
kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta
tidak ada undang-undang yang dapat mereka patuhi. akibat dari itu semua jiwa
mereka dipenuhi dengan aqidah yang batil. Tuhan dihayalkan pada patung yang
mereka Pahat. Dengan tangannya sendiri, terkadang pada binatang-binatang yang
tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekah
adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya
maupun karena letaknya. Kota
ini ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan
Syiria di Utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah
tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala
utama, atau hubal. Mekkah kelihatan
makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas
kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk
jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qathaniyun
(keturunan Catan), dan Adnaniyun (keturunan
Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh golongan
Adnaniyun, dan wilayah selatan diduduki oleh golongan qahthan. Akan tetapi
lama-kelamaan kedua golongan tersebut membaur karena perpindahan-perpindahan
dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Masyarakat, baik nomadik ataupun yang menetap, hidup
dalam budaya kesukuan Badui. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan
sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu
kabilah atau suku. Mereka sangat suka berperang, sehingga
peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini nampaknya sudah menjadi tabiat
yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
Dalam
masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah.
Situasi ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu
merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat
badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir
(ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta
rampasan dan pertempuran tertentu. Diluar itu, syekh atau amir tidak memiliki
wewenang apa-apa[5].
Pada
saat itu penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab,
yang terpenting diantaranya adalah Yastrib[6].
Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi.
Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, akan tetapi
bangsa Arab masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa
yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai
berhala sendiri. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan
mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang
kebangkitan islam.
2.
Tahapan
Tasyri' Pada Masa Kerasulan
Fase
ini bermula ketika Allah mengutus nabi Muhamad SAW membawa wahyu berupa
al-Qur'an ketika baginda sedang berada di dalam gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan
tahun ketiga belas sebelum hijriyah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus
turun kepada baginda Rasulullah SAW di Mekah selama 13 tahun dan berlangsung
ketika beliau berada di Madinah dan ditempat-tempat lain setelah hijrah selama
sepuluh tahun, sampai beliau wafat pada tahun 11 H.
Terkadang
wahyu turun kepada baginda Rasulullah SAW dalam bentuk al-Qur'an yang merupakan
kalam Allah SWT dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang
hanya berupa makna sementara lafalnya dari Rasulullah SAW atau yang kemudian
termanifestasikan dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah
perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.
Atas
dasar ini perundang-undangan pada masa Rasulullah SAW mengalami dua periode
istimewa, yaitu periode legislasi hukum syari'at di Mekah yang dinamakan
perundang-undangan era Mekah (Attasyri' al-Makkiy) dan periode legislasi hukum
syari'at di Madinah (Attasyri' al-Madaniy)[7].
- Tasyri’ Pada Periode Mekah
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekah
sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih
terfokus pada proses penamaan tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah,
Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan,
kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina,
pembunuhan dan penipuan[8].
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki aqidah,
karena aqidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya.
Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan
dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat
al-Qur'an yang turun di Mekah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik
dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah
yang disampaikan oleh para Nabi[9].
Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu,
menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan
mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti
pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur'an itu meminta mereka agar
menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari
dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan
ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada umat-umat
terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah
tuhannya.
Pada masa ini al-Qur'an hanya sedikit memaparkan
tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali
setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan
pemeliharaan akidah, seperti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang
tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekah merupakan periode
revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju
penghambaan kepada Allah semata. Status revolusi yang menghadirkan perubahan
fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada seluruh dimensi kehidupan
masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi
Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekah, terutama dalam aspek ekonomi[10],
faktor diantaranya yaitu:
- Ajaran
tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila
menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal
ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran
tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekah.
- Ajaran
Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri
pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti
yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting. Mekah makmur karena letaknya yang berada
dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan mediteranian, teluk
Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekah adalah salah satu pusat
perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan
dakwah Nabi.
- Tasyri’ Pada Periode Madinah
Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan
berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah
memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang. Keadaan inilah yang mendorong
perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur
perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk
mengatur pula perhubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu
damai maupun perang[11].
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode
penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan. Oleh karena
itu di periode Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan
tersebut (ayat-ayat ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial.
Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun
ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan justru
dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekah tersebut.
Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu
dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada
tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi
semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan,
baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah,
jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan
segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih[12].
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak
dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab
pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang
telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama
kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah
yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah
SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau
beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis
dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau
sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal
itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses
perkembangan syariat pada periode ini. Pertama adalah : metode Nabi dalam
menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam Turun secara global nabi
sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana
syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti ketika nabi salat para sahabat
melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan
rukunnya.
Kedua
adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri
ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula
yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada
kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah
masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap (periodik).
Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan Siap dan menerima Islam
harus menjadi prioritas yang diutamakan.
3.
Sumber
Perundang-Undangan Tasyri’ Pada Periode Rasulullah SAW
Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai
dua sumber[13],
yaitu :
- Wahyu Ilahi (Al-Quran)
Al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat
manusia. Dalam bahasa “Fazlurrahman, al-Qur'an adalah dokumen keagamaan dan
etika yang bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan
adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh dan religius dengan keadaan yang
peka dan nyata akan adanya satu tuhan yng memerintahkan kebaikan dan melarang
kejahatan[14].
Ketika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya
pembentukan hukum dikarenakan suatu peristiwa, perselisihan, pertanyaan,
permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW satu atau
beberapa ayat al-quran yang menjelaskan hukum yang hendak diketahuinya.
Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam apa-apa yang sudah
diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib
diikuti.
Ada karakteristik yang sangat menonjol dari al-quran
yaitu, bahwa meskipun al-quran diturunkan dalam ruang waktu tertentu, sebab
tertentu, tetapi esensi kalam tuhan tersebut adalah universal, sehingga
mengatasi ruang dan waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sasaran
alquran dan juga sebab turunnya adalah “kemanusiaan(problematika kehidupan
manusia), baik pada masa Nabi, masa kini dan masa seterusnya.
- Ijtihad Rasulullah (Sunnah)
Sunnah
adalah sumber fiqih kedua setelah al-Qur'an. Dalam terminologi muhaddisin,
fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-Quran, sunnah juga tidak muncul dalam
satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik) mengikuti fenomena umum dalam
masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti perkembangan turunnya syariat.
Oleh karena itu dalam banyak hal, kita akan melihat bahwa sunnah bertujuan
menerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan al-Qur'an.
Ketika muncul sesuatu yang menghendaki peraturan,
sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasulullah ayat al-Qur'an yang menunjukkan
hukum yang dikehendakinya, maka Rasulullah berijtihad untuk mengetahui
ketentuan hukumnya.
Dan dengan hasil ijtihad itulah yang dipergunakan
beliau untuk memutusi hukum sesuatu masalah, atau memberi fatwa hukum atau
menjawab pertanyaan atau menjawab permintaan fatwa hukum. Dan hukum yang terbit
dari hasil ijtihad beliau itu juga menjadi undang-undang yang wajib diikuti.
Setiap hukum yang disyareatkan pada periode Rasulullah SAW itu sumbernya adalah
dari wahyu ilahi (al-Qur'an) dan ijtihad Nabi (Sunnah)[15].
4.
Tahapan
Tasyri' Pada Masa Al-Khulafaur
Rasyidun
Periode
ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan
memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada
periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan
munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan
yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah
Umar bin al-Khattab menjadi Khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan
upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah
masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan
semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya
masing-masing. Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan
dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat
majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah
sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi
yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam
persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru
itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari
tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi
SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya,
mereka melakukan ijtihad[16].
B. Perkembangan Fiqh Dan Ijtihad Pada Masa Nabi
Muhammad SAW Dan Sahabat
1.
Perkembangan
Fiqh Dan Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Hukum-hukum
fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama Islam
merupakan himpunan dari aqidah, akhlak dan amaliyah. Hukum amaliyah ini pada
masa Rasulullah SAW terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat didalam al-Qur'an,
dari berbagai hukum yang keluar dari Rasulullah SAW sebagai suatu fatwa
terhadap suatu kasus, atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan
suatu jawaban dari suatu pertanyaan. Kompolasi hukum-hukum fiqh pada periode
pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulnya dan sumbernya adalah al-Qur'an
dan sunah[17].
Permasaalahan ijtihad pada masa Rasulullah
ini terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi ijtihad yang menyangkut dengan
kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi perang jelas dilakukan oleh Nabi.
Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para
sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara para sahabat yang mengutarakan
pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz[18].
Saat itu Rasulullah SAW lebih condong
kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk mengambil fidyah dari
para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun firman Allah SWT yang mendukung
pendapat Umar untuk membunuh mereka "Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai
tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki
harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal [8]: 67)[19].
Dalam Fiqh us-Sirot in-Nabawiah-nya,
Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan
terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah SAW. Kemudian beliau melanjutkan
penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun
tidak kontinyu, karena akan datang wahyu Allah swt yang membenarkannya.
Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga
dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah
keburukan, namun hanya sebuah kekurangsempurnaan dalam versi ilmu Allah SWT[20].
2.
Perkembangan
Fiqh Dan Ijtihad Pada Masa Sahabat
Pada masa sahabat, mereka dihadapkan pada
berbagai kejadian dan munculnya berbagai hal yang tidak pernah dihadapi kaum
muslimin sebelumnya dan belum pernah muncul pada zaman rasulullah, maka
berijtihadlah orang yang ahli ijtihad diantara meraka, mereka memberikan
putusan hukum , berfatwa menetapkan hukum syari'at, dan menambahkan sejumlah
hukum yang mereka istimbathkan melalui ijtihad mereka kepada kompilasi hukum
yang pertama itu. Maka pada periode kedua ini, kompilasi hukum fiqh terbentuk
dari hukum-hukum Allah dan Rasulnya, serta fatwa sahabat dan putusan mereka.
Sedangkan sumbernya adalah al-Qur'an, assunah dan ijtihad para sahabat[21].
Pada kedua periode ini hukum-hukum
tersebut belum terkodifikasikan dan belum ada penetapan hukum terhadap berbagai
kasus fiktif, akan tetapi penetapan hukum islam adalah berkenaan dengan apa
yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan kasus-kasus yang terjadi saja.
Hukum-hukum ini belum menjelma dalam bentuk ilmiyah, akan tetapi hanya sekedar
suatu penyelesaian insidental terhadap peristiwa-peristiwa faktual. Kompilasi
hukum ini belum pula dinamakan sebagai ilmu fiqh, dan tokoh-tokohnya dari
kalangan sahabat belum disebut fuqoha'[22].
C. Perkembangan Fiqh Dan Ijtihad Umar Ibn Khattab
1. Metode ijtihad Umar ibn Khattab
Umar bin Khattab dikatakan
berijtihad mulai wafatnya Rasulullah SAW sampai beliau menjabat sebagai sebagai khalifah kedua
dan wafat. Adapun prakondisi pada masa Rasulullah saw hanya merupakan istisyar
(konsultasi) dan meminta kejelasan. Karena salah satu sumber hukum pada waktu
itu masih ada (Rasulullah=Hadits)
Kaidah
umum Umar bin Khattab RA dalam berijtihad[23]:
1.
Berpegang pada
nash/teks al-Qur’an dan Sunnah
2.
Ijma’ dan Qiyâs.
Namun bukanlah yang dimaksud disini Ijma’ sebagaimana yang ada dalam
istilah-istilah sebagian pendapat ushul fiqh. Namun dengan kesepakatan
orang-orang yang mengerti permasalahan yang dihadapi saat itu dan diikuti oleh
orang lain dengan menyetujuinya. Demikian halnya dengan qiyas. Istilah-istilah
ushul fikih belumlah ada pada masa Umar, seperti istilah sadz dzarâi’ dan
mashlahah. Namun ini diilhami dengan perbandingan suatu masalah dengan
yang lainnya yang serupa. Disinilah kecerdasan beliau mengklasifikasikan suatu
masalah sehingga bisa diqiyaskan. Seperti ijtihad beliau tentang zakat ‘urûdh
tijârah yang diqiyaskan pada zakat emas dan perak. Harga diyat
(bukan dengan unta) diqiyaskan dengan penerimaan Rasulullah atas jizyah
dengan harga/qîmah (bukan dengan naqd).
3.
Bermusyawarah dengan para sahabat. Kadang dengan
meminta pendapat mereka ataupun mereka (para sahabat Rasulullah membenarkan
ijtihad Umar dengan Ijma’ Sukuti)
4.
Berpikir Realistis. Pola ijtihad dan berpikir beliau
bukan pada hal-hal iftirodhy (yang diperkirakan ada). Karena sangat
jarang kita menemukan beliau memberikan penyelesaian hukum pada permasalahan
yang memang belum ada. Sebagaimana yang terjadi pada sampel-sampel fikih pada
masa Abbasiah. Umar meyelesaikan kasus perkasus yang benar-benar terjadi dan
dihadapi pada masanya dan pada masyarakatnya secara realistis dan cerdas.
5.
Kemungkinan benar dan salah. Ketika berijtihad di
saat menjabat sebagai khalifah, beliau sangat menghormati pendapat orang lain
yang berbeda dengannya. Beliau tak memaksakan pendapat ini kepada kaum
muslimin.
6.
Maslahah dan Nash. Dua kutub ini
yang sangat diperhatikan oleh Umar dalam pengambilan hukum fikih. Karena jika
pengambilan hukum hanya didasarkan maslahah semata maka akan cenderung
membentur nash. Ketika itu pengambilan hukum benar-benar akan kontroversi dan
menabrak nash. Seperti pada contoh had pencuri atau masalah mu’allaf.
7.
Memperhatikan kemaslahatan bersama dan kemaslahatan
pribadi atau golongan. Jika bertentangan maka kemaslahatan umumlah yang
diprioritaskan.
8.
Mentarjih salah satu
kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal jika memang bisa berpihak pada
kemaslahatan.
9.
Maslahah dan Sadz dzarâi’. Umar
memang belum mengenal istilah usul fikih ini. Bahwa perlu ada proteksi hukum
dan akidah dengan sadz dzarai’ yang dikedepankan dari pada maslahah.
Seperti contoh penebangan pohon bai’aturridwân. Hal tersebut beliau
lakukan setelah melihat kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi pohon
tersebut dan shalat dibawahnya. Beliau sangat mengkhawatirkan hal ini bisa
mengembalikan kondisi jahiliyah (menyembah berhala) secara pelahan dan
berproses.
10. Ta’zir.
Yaitu hukuman tertentu yang diterapkan beliau pada masalah-masalah yang tidak
ditentukan Rasul saw. Dan kondisi ini pun berbeda-beda satu dengan lainnya.
11. Qarînah
yang jelas. Seperti had zina kepada perempuan yang hamil sedangkan ia belum
punya suami. Adapun jika qarinah ini ada kemungkinan-kemungkinan lain
yang bisa ditafsirkan maka beliau pun akan memutuskan lain.
12. Lafadz dan
Niyat. Artinya ketika seseorang mengucapkan sesuatu yang dimaksudkan untuk
menyindir atau menuduh zina, misalnya. Beliau akan segera bertanya dan minta
endapat orang-orang disekitarnya. Jika benar maksudnya adalah menuduh zina maka
ia akan segera dihukum. Karena jika orang tersebut ditanya maka ia akan berkelit
dan berdalih.
13. Konsep
Keadilan
14. Menghargai
hak milik pribadi
15. Memperhatikan
sisi-sisi kemanusiaan dan hak-haknya. Seperti kemuliaan dan posisi sosial
seseorang. Akan tetapi jika ia menghukum orang terpandang yang bersalah
bukanlah dimaksudkan untuk menjatuhkannya namun untuk menjaga hak-hak orang
lain dan justru mengembalikan orang terpandang tersebut untuk tetap bagus personal
recordnya di tengah masyarakatnya.
16. Persamaan
hak dan akidah
2.
Beberapa
Contoh Ijtihad Umar Al-Fârûq
Sebelum
kita memasuki pembahasan-pembahasan khusus yang menjelaskan ijtihad Umar secara
khusus. Ada baiknya kita mengetahui bagaimana Umar sangat memperhatikan
nash-nash[24].
1.
Dalam masalah tayamum orang junub. Mulanya beliau
membolehkannya. Setelah mengingat-ingat kembali pada masa Rasulullah saw,
beliau menarik lagi pendapatnya.
2.
Beliau menolak riwayat Fatimah binti Qais yang
meriwayatkan bahwa perempuan yang ditalak bâ’in tidakkah mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal pada masa Rasulullah saw. Beliau menolaknya dengan
tetap berpegang teguh pada nash yang bersifat umum (baik raj’ah
maupun bâ’in) “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu),
dengan baik…”.(QS. 65:6). Adapun kajian tentang talak ini memang terdapat
perbedaan (ikhtilaf) para ulama. Pada kesempatan ini, kita tak
mengedepankan masalah penolakan Umar terhadap riwayat Fatimah binti Qais. Akan
tetapi, karena beliau kurang merasa tenang hatinya ketika ada yang terlihat
bertentangan dengan al-Qur’an. Namun demikian beliau tak berani menganggap
bahwa Fatimah binti Qais berbohong.
3.
Umar juga pernah lupa dengan beberapa riwayat
hadits. Sehingga dalam prakteknya beliau sering muraja’ah dengan
beberapa sahabat tentang riwayat yang beliau ragu atau kurang tenang.
4.
Tadwin dan penulisan hadits nabawi.
Pada awalnya belau berpegang teguh; tak boleh membukukan (=menulis)
hadits-hadits Rasul saw. Namun setelah beliau gundah dan khawatir jika nantinya
orang-orang terlalu mencintai Rasul kemudian dengan itu mengada-ada dan menulis
apa yang tak ada pada Rasul saw. Beliau pun beristikhârah selama
sebulan dan terus bermusyawarah dengan para sahabat akhirnya beliau membolehkan
tadwin sunnah.
a. Ijtihad Pada Nash-Nash Khusus
Maksudnya,
bukan berarti Umar berijtihad pada wilayah yang sudah ada nashnya. Namun,
perlakuan beliau terhadap beberapa nash al-Qur’an yang sekilas terlihat dan
terkesan bertentangan dan kontroversi. Tetapi hakikatnya tidaklah demikian.
Secara
singkat bisa dibagi dalam beberapa bagian, sebagai berikut:
a.
Materi/harta. Ada beberapa contoh, diantaranya tanah
yang dibuka melalui futuhat islamiyah, hak mu’allaf dalam zakat, bagian
ghanimah untuk dzawil qurbâ (kerabat Rasulullah SAW., pembayaran
harga diyat, zakat ‘urûdh tijâraakat, zakat madu dan
lain-lain.
b.
bagian ghanimah untuk dzawil qurbâ
(kerabat Rasulullah Saw. pembayaran harga diyaakat ‘urûdh tijâraakat
madu dan lain-lain.
c.
Hudud/Hukuman. Ada beberapa contoh, diantaranya: had pencuri, zina, minuman keras/khamr dan lain-lain.
d.
Pernikahan dan Akhwal Syakhshiyyah. Ada
beberapa contoh, diantaranya: tentang nikah mut’ah, menikahi kitabiyat
(ahli kitab perempuan), talak 3 dengan lafadz satu saja.
e.
Harta waris. Kalalh bagian jad (kakek) dan ikhwah
(saudara) bagian orang tua dengan adanya salah satu suami-istri bagian saudara
perempuan ketika ada anak perempuan dan lain-lain.
f.
Lain-lain. Ada beberapa contoh, diantaranya: Haji, tarawih
berjamaah dan lain-lain
Kita
mencoba mengambil sampel beberapa contoh saja. Yaitu tentang mu’allafati qulubuhum,
had pencuri dan tentang menikahi kitabiyat.
a) Mu’allafati Qulubuhum
Salah
satu ijtihad Umar bin Khattab yang sering dinilai kontroversial dan
bertentangan dengan al-Qur’an adalah beliau tidak membagi zakat kepada mu’allaf.
Sehingga dari sinilah seolah terbuka celah untuk mengkritisi teks-teks
al-Qur’an.
Kita
mesti membedakan ijtihad beliau. Apakah obyeknya benar nash atau teks al-Qur’an
atau konteks sosial yang ada pada waktu itu. Yang pertama adalah kontroversi
dan yang kedua adalah kejeniusan. Yang pertama menerjang kesakralan nash. Yang
kedua membuktikan keluasan ilmu.
Setelah
terjadi beberapa futuhat islamiyah pada zaman beliau maka kondisi umat
Islam cukup kuat dan eksis bahkan menjadi sebuah kekuatan yang benar-benar
diperhitungkan. Pada saat itulah beliau memandang bahwa tak ada lagi orang yang
perlu disebut sebagai muallaf, yang berkonsekuensi tak ada jatah untuk
mereka dalam pembagian harta zakat.
Nash
al-Qur’an menjelaskan bahwa pembagian harta zakat diperuntukkan kepada 8
saluran sebagaimana yang telah ditetapkan, “Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah…”
(QS. 9:60).
Apakah
jika suatu saat kita tidak menjumpai salah satu saluran tersebut berarti kita
menghapus al-Qur’an. Seperti halnya tentang perbudakan yang bisa dikatakan
sudah tak ada. Delapan saluran diatas hanyalah pilihan yang diberikan oleh
Allah untuk menyalurkan zakat, bukan selain mereka. Bisa jadi suatu ketika
hanya ada salah satu saja dari yang delapan atau bahkan tak ada lagi sama
sekali.
Terbukti
pada saat pemerintahan cucu beliau, Umar bin Abdul Aziz. Saluran muallaf
kembali dibuka. Dengan menghadiahkan dinar kepada seorang patrik.
Hal
ini mirip poin keputusan yang sering kita bahas dalam tata tertib persidangan.
Seperti pengambilan keputusan secara mufakat. Kemudian dengan pemungutan suara.
Lalu dengan diserahkan kepada presidium sidang. Adanya beberapa poin bukan
berarti mesti kita jalankan semua secara kaku. Jika kita melaksanakan poin
nomor satu bukan berarti kita menghapus poin berikutnya.
Satu
hal penting yang perlu dicatat bahwa apa yang dilakukan Umar tersebut disetujui
dan didukung oleh para sahabat Nabi. Selain itu bahwa bukan berarti hukum agama
diserahkan secara bulat-bulat kepada para penguasa sehingga bisa dibolak-balik
sesuka mereka. Karena sudah ada aturan-aturan bakunya. Hanya saja memang masih
banyak ruang-ruang ijtihad bagi orang-orang cerdas. Sehingga tak perlu lagi
menyentuh wilayah sempit yang sudah ditentukan.
Naifnya,
ijtihad Umar dalam masalah ini sering dibawa-bawa ketika seseorang hendak
membicarakan masalah harta warisan. “…bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…” (QS. 4:176). Yaitu dengan
menuntut persamaan bagian dengan klausul emansipasi dan tuntutan modernitas.
Bahwa sudah saatnya bagian perempuan sama dengan bagian laki-laki dalam masalah
warisan di ayat ini.
Tentu
saja masalah ini berbeda dengan konteks ijtihad Umar yang jenius tanpa harus
menabrak nash. Adapun masalah terakhir ini terlihat jelas sebagai upaya
menunjukkan keangkuhan dan kesombongan atas nash-nash yang diklaim sudah usang
dan ketinggalan zaman.
Sebenarnya
yang perlu kita pertanyakan, masihkah hukum warisan ini dipegang dan dijalankan
oleh kaum muslimin. Bahwa tujuannya bukan sekedar pembagian angka namun
memperkuat hubungan keluarga.
b)
hukum seorang pencuri
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah…”(QS.
5:38).
Umar
bin Khattab tidak memberlakukan hukuman potong tangan terhadap pencuri di musim
paceklik
pada masa kepemimpinannya.
Inti
dari beberapa peristiwa pencurian yang terjadi pada masa paceklik tersebut
adalah keterpaksaan mempertahankan hidup. Bahwa menjaga jiwa (hidup)
lebih dikedepankan dan diprioritaskan daripada menjaga harta. Dan ijtihad Umar
ini bukan berarti melanggar nash al-Qur’an. Karena seorang pencuri
yang harus dipotong tangannya adalah telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Diantaranya harta yang dicuri sampai pada batas tertentu, dalam kondisi normal,
mengganggu hak orang lain dan stabilitas sosial serta adanya saksi atau
pengaduan atau keberatan dari pihak yang dirugikan.
Dan
bukan berarti pula bahwa ijtihad Umar tanpa sandaran nash. Allah sendiri
memerintah untuk tidak menjerumuskan diri kita pada kebinasaan,
diperbolehkannya memakan bangkai bila sangat terpaksa, juga riwayat shahih dari
Makhul yang menjelaskan sabda Rasul SAW. “Tak ada potong (tangan) di musim
paceklik yang sangat”.
c) Menikahi Ahli Kitab Perempuan (Kitabiyat)
“Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikan gundik-gundik…” (QS. 5:5)
Secara
jelas Allah membolehkan laki-laki menikahi perempuan ahli kitab (yang menjaga kehormatan).
Namun, Umar melarangnya dengan memperhatikan kemaslahan sosial umat Islam.
Bila
kita teliti dengan seksama sesungguhnya beliau berpendapat bahwa menikahi kitabyat
adalah halal. Hanya saja dalam kondisi khusus beliau menyatakan, “sesungguhnya
perempuan-perempuan asing itu memperdayakan dan melenakan”. Hal itu tak
lain beliau ungkapkan untuk menjaga stabilitas kaum muslimin dan eksistensi
psikologis dan keseimbangan sosial mereka. Atau dalam bahasa ushul fiqh kita
kenal dengan tindakan prefentif berupa sadz dzara’i. Mencegah
keterlenaan yang membuai kaum muslimin.
Apalagi
terhadap masalah serius seperti pernikahan. Memang benar diantara perempuan itu
ada kitabiyat. Lalu, apakah sudah tak ada seorang muslimah pun yang
membuat kita tertarik untuk menikahinya. Dan diantara muslimah tersebut ada
berbagai sifat dan karakter yang membuat seorang laki-laki harus memilih
“selera” tertentu sesuai dengan kufu’ dan kecondongan hatinya.
Terlepas
dari hal itu, apakah dengan kondisi seperti saat ini kita masih bisa mencari.
Masih adakah orang-orang yang disebut dengan Ahli Kitab? Sebuah permasalahan
yang masih saja mengundang perdebatan dalam wacana fiqh kontemporer. Jika
jawabannya ya, sifat “yang menjaga kehormatan” itu sendiri memiliki
penafsiran yang lebih serius.
Kebolehan
nikah ini sendiri bukan berarti menduduki peringkat kebolehan yang besar. Namun
lebih pada skala prioritas. Apalagi untuk urusan serius dalam hidup seorang
mukmin yang telah lama membina dirinya untuk mencari pasangan hidup yang
diharapkan mampu melanjutkan obsesi hidup bersama dan mewujudkan masyarakat
madani yang beriman pada Allah. Urusan serius itu adalah pernikahan.
b. Ijtihad-Ijtihad Pada Masalah Yang Tak Ada
Nash
Selain
hal-hal yang disebut diatas, Umar juga melakukan ijtihad-ijtihad cerdas
diberbagai masalah yang tak ada hubungannya dengan nash-nash khusus seperti ide
mengumpulkan al-Qur’an (jam’ul Qur’an), penanggalan hijriyah,
perpajakan, diwan mal, baitul mal, administrasi negara dan beberapa
undang-undang kenegaraan serta lain-lain[25].
4.
ANALISIS
Analisis pemakalah dari pembahasan diatas yaitu
sebagai berikut:
1.
Tasyri’ adalah manifestasi dari lahirnya Islam sebagai
agama yang benar dan diridhai oleh Allah SWT.
2.
Bangsa Arab
para Islam adalah bangsa yang sangat tidak bermoral, sehingga Rasulullah saat
itu berdakwah tentang-tentang akidah (periode mekkah)
3.
Periode Mekkah adalah periode dimana nabi hanya
menjelaskan tentang tauhid dan akidah. Sehingga periode ini dikenal dengan
periode penataan akidah.
4.
Periode Madinah adalah periode dimana kesempurnaan
tasyri’ mulai terlihat, ayat-ayat yang Turín tidak lagi berkaitan dengan tauhid
ataupun akidah akan tetapi sudah beralih kepada hal-hal yang mengandung tentang
Ibadan.
5.
Yang menjadi sumber tasyri’ pada periode Rasulullah
SAW adalah wahyu ilahi(al-quran) dan ijtihad Nabi (sunnah).
6.
Keberadaan ijtihad pada masa Rasulullah masih
diperselisihkan, akan tetapi beberapa ijtihad tentang kemaslahatan dunia dan
strategi perang terlihat wujudnya pada periode ini.
7.
Ketika
berijtihad para sahabat sangat memperhatikan beberapa sumber, tidak hanya
bersumber pada al-Qur'an dan Hadits.
5.
PENUTUP
Semoga penulisan makalah ini bisa memberikan banyak
manfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya dalam menggali
ilmu pengetahuan agama Islam.
Dalm penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kami mhon saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Semoga goresan pena yang
tidak seberapa ini dapat menjadi amal jariyah bagi kami.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Al-Imam Abu Zahrah, Usul al-Fiqh,
(Kairo: Dar al-Fikr, tanpa tahun)
Arif, Ahmad
Daniel,
Makalah Fenomena Tasyri’ di Era
Rasululullah Serta Berbagai Faktor Sosial Yang Melatarbelakanginya, (Malang, 2009)
Asyaukani, Irsyad al-Fuhul, (Mesir,
1937)
Bahri, Saiful MA., Artikel Menilik Ijtihad al-Fârûq Dalam Fiqh
Depag RI, Ushul Fiqh 1
Hasan, Rasyad Khalil, Dr., Tarikh
Tasyri' Tarjamahan Dr. Nadirsyah Hawari, M.A (Jakarta: Amzah, 1998)
Wahab, Abdul Kholaf, Prof., Ilm
Usul al-Fiqh, (Kairo, 1982)
Wahab , Abdul Kholaf, Prof. , Khulasoh
Tarikh Tasyri' Islam tarjamahan H. A Aziz Masyhuri, (Solo: Ramadhani, 1990)
cetakan IV
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=495
http://justyadi.blogspot.com/2010/05/ijtihad-mujtahid.html
http://justyadi.blogspot.com/2010/05/ijtihad-mujtahid.html
http://hilabiyus.multiply.com/journal/item/18
[1] http://justyadi.blogspot.com/2010/05/ijtihad-mujtahid.html, diunduh pada
hari minggu, 10 oktober 2010
[3] Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (S. 2:
150) sehubungan dengan peristiwa berikut: Ketika Nabi SAW memindahkan arah
qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, kaum Musyrikin Mekkah berkata:
"Muhammad dibingungkan oleh agamanya. Ia memindahkan arah qiblatnya ke
arah qiblat kita. Ia mengetahui bahwa jalan kita lebih benar daripada jalannya.
Dan ia sudah hampir masuk agama kita."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang
bersumber dari as-Suddi melalui sanad-sanadnya.)
[5] Ahmad Arif Daniel, Makalah Fenomena Tasyri’ di Era Rasululullah Serta Berbagai Faktor Sosial
Yang Melatarbelakanginya, (Malang, 2009) hlm: 4
[6] Dr.
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri' Tarjamahan Dr. Nadirsyah Hawari, M.A
(Jakarta: Amzah, 1998), hlm: 36
[7] Ibid,
hlm: 41-42
[8]
Ibid, hlm: 42
[9] Prof.
Abdul Wahab Kholaf, Khulasoh Tarikh Tasyri' Islam tarjamahan H. A Aziz
Masyhuri, (Solo: Ramadhani, 1990) hlm: 9, cetakan IV
[11]
Ibid, hlm: 6
[13]
Ibid, hlm: 13
[15]
Ibid, hlm: 8
[19]
ibid
[20]
ibid
[22]
ibid
[24] ibid
makasihhhhhhhhhhhhhh