PERKEMBANGAN ISLAM DAN BUDAYA JAWA
DIBIDANG POLITIK
Makalah
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Islam
dan kebudayaan jawa
Dosen Pengampu: ANASOM
![]() |
Disusun
oleh:
EMIL SALIM : 073211029
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
PERKEMBANGAN
ISLAM DAN BUDAYA JAWA
DALAM
BIDANG PENDIDIKAN
I.
PENDAHULUAN
Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan santri ini bersama dengan unsur pesantren dan kyai ini telah menjadi inti terbentuknya tradisi besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara tradisi Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, islamisasi di Jawa juga telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi santri dan tradisi kraton sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.
HJ. Benda menyebutkan bahwa proses islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri (santri civilization), yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama, masyarakat, dan politik khususnya dalam pendidikan. Sementara Clifford Geertz memandang memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa yang disebut santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi.
Tradisi sosio-kultural santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syari’at agama, sementara tradisi Abangan, ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi Priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi hindu jawa
Selain interaksi sosial secara langsung sebagaimana telah disebutkan, sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Jawa juga terbentuk karena model dan bentuk transmisi keilmuan yang dipilih di pesantren. Transmisi keilmuan Islam di antaranya dengan melakukan kajian terhadap Kitab Kuning yang ditulis oleh ulama Timur Tengah, Andalusia (Spanyol), dan ulama lain dari beberapa negara yang diakui oleh ulama pesantren yang disebut sebagai “kitab kuning” yang bisa dijadikan referensi karena telah teruji dapat memberikan alternatif pemecahan masalah yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Dari sisnilah pesantren sebagai perkembangan islam dalam bidang pendidikan.
Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan santri dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan santri ini bersama dengan unsur pesantren dan kyai ini telah menjadi inti terbentuknya tradisi besar (Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil akulturasi antara tradisi Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, islamisasi di Jawa juga telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang menjadikan keduanya, yaitu tradisi santri dan tradisi kraton sebagai bagian (subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.
HJ. Benda menyebutkan bahwa proses islamisasi di Jawa telah melahirkan peradaban santri (santri civilization), yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama, masyarakat, dan politik khususnya dalam pendidikan. Sementara Clifford Geertz memandang memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan terbentuknya varian sosio-kultural masyarakat Islam di Jawa yang disebut santri, yang berbeda dengan tradisi sosio-kultural lainnya, yaitu Abangan dan Priyayi.
Tradisi sosio-kultural santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syari’at agama, sementara tradisi Abangan, ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi Priyayi lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi hindu jawa
Selain interaksi sosial secara langsung sebagaimana telah disebutkan, sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Jawa juga terbentuk karena model dan bentuk transmisi keilmuan yang dipilih di pesantren. Transmisi keilmuan Islam di antaranya dengan melakukan kajian terhadap Kitab Kuning yang ditulis oleh ulama Timur Tengah, Andalusia (Spanyol), dan ulama lain dari beberapa negara yang diakui oleh ulama pesantren yang disebut sebagai “kitab kuning” yang bisa dijadikan referensi karena telah teruji dapat memberikan alternatif pemecahan masalah yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Dari sisnilah pesantren sebagai perkembangan islam dalam bidang pendidikan.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Masa Sultan
Agung dan satu abad berikutnya
B.
Pendekatan
pendidikan Walisongo
III.
PEMBAHASAN
A.
Masa Sultan
Agung dan satu abad berikutnya
Satu abad setelah masa Walisongo, abad
17, pengaruh Walisongo diperkuat oleh sultan agung yang memerintah Mataram dari
tahun 1613-1645.Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa setelah
pemerintahan Mojopahit dan Demak, yang
juga terkenal sebagai sultan Ahbdul Rahman dan Kholifatullah Sayyidin
Panotogomo ing tanah Jawi yang berarti Kholifatullah pemimpin dan penegak Agama di tanah Jawa.
Sultan Agung adalah pemimpin Negara yang
shalih dan menjadi salah satu rujukan utama bagi dunia Islam. Sultan Agung menjalin
hubungan intim dengan kelompok ulama’. Bersama kelompok yang disebut terakhir,
Sultan Agung melaksanakan Sholat jum’at dan diikuti dengan tradisi musyawarah
dan mendengar fatwa- fatwa keagamaan mereka.
Kedekatan Sultan Agung dengan kaum Ulama’
telah menempatkan dirinya sebagai Pemimpin Negara yang disegani dan mengakar di
Masyarakat. Tidak kurang dari 7000 mujahiddin mendukung perjuangan Sultan Agung
sewaktu berhadapan dengan VOC. Mayoritas pejuang ini terdiri dari kaum santri
yang telah memperoleh pendidikan “militant” dari para kiyai di pedesaan.
Karena kesuksesan sultan Agung sebagai
masyarakat santri memandangnya sebagai ratu adil yang sesuai dengan faham
kehadiran Imam Mahdi pada dasarnya.
Sultan Agung menawarkan tanah perdikan
bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme
keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan pendidikan mereka tidak
kurang dari 300 pesantren.
Sejak Walisongo dan Sultan Agung, tidak
ditemukan disparitas dalam kehidupan sosial antara Keraton dan Pesantren.
Sebagai konsekwensi logis dari hubungan harmonis ini, pada abad 18 Jawa
menyaksikan pujangga- pujangga handal yang bekerja untuk kerajaan Islam dengan
latar belakang pendidikan pesantren.
Wali songo dalam pola pendekatan
pendidikan pesantren didasarkan pada segala sesuatu yang sudah akrab dengan
masyarakat dengan memadukan antara aspek teori dengan praktek. Misalnya, Sunan
Giri dengan permainan, Sunan Kudus dengan dongeng dan Sunan Kalijaga dengan
wayang kulit.
Pada awal berdirinya, pengabdian pesantren terhadap masyarakat sesuai dengan zamannya, bentuknya sangat sederhana dan bisa dibilang sangat alami. Pengabdian tersebut diwujudkan misalnya dengan pelayanan keagamann kepada masyarakat, menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak dan sebagai tempat tinggal para remaja yang datang dari berbagai daerah yang sangat jauh. Pada akhir 70-an pesantren mampu membuat masyarakat menyadari tentang arti tentang arti kehidupan yang sebenarnya dan mengetahui persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Pesantren mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Pesantren menjadi alternative bagi masyarakat pedesaan karena biayanya relative murah. Pada awalnya pesantren dianggap sebagai cikal bakal pendidikan masyarakat pinggiran Karena biayanya yang relarif terjangkau sehingga pesantren menjadi tujuan utama pendidikan masyarakat pedesaan yang tidak mungkin bisa masuk sekolah sekuler milk belanda. Namun pada kenyataannya kehadiran pesantren sebagai institusi pendidikan mampu memberikan sumbangan pendting, seperti berkembangnya solidaritas yang cukup tinggi di kalangan para santri, toleransi dalam menjalankan tugas dan rasa menghormati bagi kepentingan umum.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren punya perana yang besar dalam memajukan pendidikan dan kecerdasan. Dalam sejarah pendidikan islam, pesantren menjadi garda depan dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai prinsip pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umunya, yaitu kebijaksanaan, bebas, mandiri,kebersamaan,ibadah.[1]
Pada awal berdirinya, pengabdian pesantren terhadap masyarakat sesuai dengan zamannya, bentuknya sangat sederhana dan bisa dibilang sangat alami. Pengabdian tersebut diwujudkan misalnya dengan pelayanan keagamann kepada masyarakat, menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak dan sebagai tempat tinggal para remaja yang datang dari berbagai daerah yang sangat jauh. Pada akhir 70-an pesantren mampu membuat masyarakat menyadari tentang arti tentang arti kehidupan yang sebenarnya dan mengetahui persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Pesantren mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Pesantren menjadi alternative bagi masyarakat pedesaan karena biayanya relative murah. Pada awalnya pesantren dianggap sebagai cikal bakal pendidikan masyarakat pinggiran Karena biayanya yang relarif terjangkau sehingga pesantren menjadi tujuan utama pendidikan masyarakat pedesaan yang tidak mungkin bisa masuk sekolah sekuler milk belanda. Namun pada kenyataannya kehadiran pesantren sebagai institusi pendidikan mampu memberikan sumbangan pendting, seperti berkembangnya solidaritas yang cukup tinggi di kalangan para santri, toleransi dalam menjalankan tugas dan rasa menghormati bagi kepentingan umum.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren punya perana yang besar dalam memajukan pendidikan dan kecerdasan. Dalam sejarah pendidikan islam, pesantren menjadi garda depan dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai prinsip pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umunya, yaitu kebijaksanaan, bebas, mandiri,kebersamaan,ibadah.[1]
Sekali lagi Wali Songo dalam dimensi
sosiorelegious agaknya semakin menguat satu abad berikutnya. Kemashuran
Walisongo sebagai pemimpin agama berkesinambungan dalam bentuk menguatnya
status Ulama’ dimata santri Jwa. Sejak Islam meluas menjadi agama Jawa, para
ulama’ Jawa alias kyiai telah menikmati sosiorelegious yang sangat istimewa.
Pendidikan Islam atau juga transmisi Islam yang di pelopori Walisongo merupakan
perjuangan Briliant yang di Implementasikan dengan cara sederhana yaitu jalan
dan upaya yang tidak mengusik tradisi dan kebudayaan local, serta mudah mudah
di tangkap oleh masyarakat awam karena penekatan-pendekatan Walisongo yang
tidak njlimet dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Usaha-usaha ini
dalam dunia modern sering di terjemahkan
sebagai Model of Development of Within[2]
B.
Pendekatan
pendidikan Walisongo
Ada
beberapa jenis pendekatan pendidikan Walisongo, yaitu:
a.
Modeling
Jika dalam dunia Islam Rasulallah adalah
pemimpin dan panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, yang perlu
ditegaskan disini adalah bahwa modelling mengikuti seorang tokoh pemimpin
merupakan bagian penting dalam filsafat jawa. Walisongo menjadi kiblat asli
para Santri tentu berkiblst pada guru besar dan pemimpin muslimin Nabi Muhammad
SAW. [3]Misi
utama mereka adalah menerangkan, memperjelas
dan memecahkan persoalan-persoalan masyarakat, serta memberi model bagi
kehidupan social Masyarakat.
b.
Substantif Bukan
Kulit Luar
Ajaran Al-Qur’an dan Hadis pada dasarnya
berkisar pada hubugan tuhan dengan makhluk di bumi dan bagaimana agar mnakhluk
tersebut dapat selamat lahir batin dunia
akhirat, dengan demikian tujuan Walisongo adalahuntuk menerangkan bagaimana
menerapkan teori modalitas hubungan Allah dengan hambanya agar mudah di tangkap
c.
Penddidikan
Islam yang tidak Deskriminatif
Pendidikan Islam Walisongo ditujukan
pada masa dapat di lihat rekayasa mereka pada pembangunan pesantren. Pendidikan
yang merakyat ini jjustru di jadikan kiblat dalam dunia pendidikan dunia
pesantren dalam dewasa ini. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah
terlembagakan dalam tradisi Pesantren seperti kesolehan sebagai cara hidup kaum
santri, pemahaman dan pengarifan terhadap budaya local, semua ini adalah
warisan dari budaya walisongo.
Meskipun demikian, pendidikan islam
Walisongo juga di tujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap
pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah popular Sabdo
Pandiko Ratu yang berarti yang menyatunya pemimpin agama dan pemimpin ratu.
d.
Pendidikan Agama
yang Understandable and Applicable
Seperti yang telah di singgung di atas
Pendidikaan Walisongo Mudah di tangkap dan di laksanakan hal ini selaras dengan
ajaran Nabi Wa Khatabinnas ‘Ala Qodri ‘Uqulihim. Pola pendidikan ini terlihat
dalam rumusan jawa Klasik “arep atatakena elmu sekadare den lampahaken ”
Carilah ilmu yang dapat engkau praktekkan dan terapkan. Dalam ajaran Islam juga
dapat ditemukan crita pewayangan seperti Syahadatain yang sering di personifikasikan dalam tokoh puntadewa,
tokoh tertua di antara Pandawa dalam kisah Mahabarata, Puntadewa yang memiliki
pusaka Jamus Kalimasada (Kalimah Syahadat).[4]
e.
Pendekatan kasih
sayang
Bagi Walisongo Mendidik adalah tugas dan
panggilan agama. Mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak kandung
sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah “Sayangi, Hormati, dan jagalah
Anak didikmu, hargailah tingkah lakku mereka sebagaimana kamu memperlakukan
anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian hingga mereka dapat menjalankan
syariat islam, dengan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan.”[5]
Sumbangan Wali Songo turut
meliputi perkembangan bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan di Jawa. Sumbangan
dalam bidang pendidikan ini dapat dibuktikan melalui pembinaan pesantren yang
banyak di pelbagai kawasan. Pesantren ini merupakan sebuah lembaga pendidikan
Islam yang unik di Indonesia. Perkembangan lembaga pendidikan ini khususnya di
Jawa mengalami masa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim atau digelar
Spiritual Father, dalam masyarakatsantri Jawa dipandang sebagai guru tradisi
yang memperkenalkan pesantren di Tanah Jawa.56 Beliau telah mendirikan
pesantren pertama di Gresik yang melahirkan mubaligh Islam untuk menyebarkan
agama Islam ke seluruh Tanah Jawa. Sekiranya Maulana Malik Ibrahim dianggap
sebagai perintis kepada sistem pondok pesantren, Ampel pula merupakan wali yang
dianggap paling berjaya dalam mendidik ulama dan mengembangkan pesantren iaitu
melalui pembinaan Ampel Denta.
Selain itu, terdapat
juga Wali Songo yang terlibat dalam memperkembangkan ajaran ilmu tasawuf
seperti Sunan Bonang dan Syekh Siti Jenar. Pemikiran Sunan Bonang ini dapat
dibuktikan melalui karyanya di dalam Suluk Sunan Bonang yang dapat ditentukan
kegiatan pemikiran tersebut adalah antara tahun 1475 hingga 1525. Manakala,
Sunan Giri pula telah memperkenalkan pelbagai permainan yang bertujuan untuk
digunakan dalam mendidik kanak-kanak. Permainan yang berteraskan kepada
pelajaran ini adalah sepertiJelungan,Jamuran,Ilir-il ir, Gendi Gerit dan
Gula Ganti
Misalnya, Ilir-ilir merupakan lagu yang mengajarkan seseorang agar optimis
dalam melakukan amal kebaikan
agar amal tersebut dapat diterima dan kesempatan hidup haruslah dimanfaatkan
dengan melakukan amal tersebut. Sunan Giri juga merupakan wali telah mengarang
ilmu Falak yang telah disesuaikan dengan prinsip- prinsip ilmu Falak Islam dan
pemikiran orang Jawa serta memperkenalkan penggunaan kertas sebagai bahan
tulis-menulis yang akhirnya membawa kepada perkembangan ilmu dan budaya.
IV.
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat di
simpulkan bahwa Pesangtren berfungsi sebagai institusi pendidikan, yang
merupakan wujud kesinambungan budaya hindu-budhayang di islamisasikan secara
damai. Pada dasarnya asal usul pesantren
itu tidak terlepas dari sejarah pengaruh Walisongo, pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang unik di Indonesia. Dan dengan kesabaran Walisongo yang telah
mendidik masyarakat jawa dalam lingkungan pesantren. Dalam mendidik masyarakat
Walisongo menggunakan pendekatan-pendekatan yang mudah di terima oleh masyarakat
dan tidak njlimet.
Pendekatan-pendekatan di antaranya
adalah Modelling dalam hal ini Walisongo menjadi anutan para masyarakat para kaum
santri tentu berkiblat pada guru besar dan para ulama’ dan pemimpin Muslimin,
Nabi Muhammad SAW. Dan ajaran Al-Qur’an dan Hadist sebagai landasan umat muslim, pada dasarnya berkisar
tenntang hubungan Tuhan dengan makhluk di bumi. Walisongo juga memberikan
pendidikan yang tidak diskriminatif, yang terlembagakan dalam Tradisi Pesantren
seperti Keshalehan sebagai cara hidup pesantren, seperti kesalehan sebagai cara
hidup kaum santri, pemahaman, dan pengarifan terhadap budaya Lokal, Pendidikan
Agama yang mudah di tangkap dan di laksanakan oleh para masyarakat, sehingga
masyarakat yang mau mengikuti ajaran islam tidak akan enggan. Dalam pendekatan
Kasih sayang seperti mendidik anaknya sendiri sehingga para anak didik akan
merasa senang dan nyaman dalam belajar Agama Islam sehingga anak yang dalam
belajar agama islam akan menjalankan Syariat Islam dengan baik.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah
sajikan, pemakalah sangat menyadari jika dalam penulisan ini banyak sekali
kekurangan-kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah meminta
kepada para pembaca untuk memberi kritik dan saran yang membagun demi
kesempurnaan makalah ini, Dan semoga dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin..
DAFTAR
PUSTAKA
Jamil, Abdul,Dkk, 2002, Islam & kebudayaan Jawa,
Yogyakarta: Gama Media
http://shedhu-shedhu.blogspot.com/2010/04/perkembangan-pendidikan-islam-dalam.html